Minggu, 15 Januari 2012

Kota Hemat Energi

Saat ini semakin meningkat kadar panas bumi akibat perilaku manusia, tanpa mempertimbangkan dampak yang akan terjadi. Penyebab yang paling menonjol adalah penggunaan bahan bakar atau BBM yang tingi yang menyebabkan emisi karbon yang di hasilkan tinggi.

Di Indonesia sendiri, Wakil Presiden Boediono telah menyerukan agar kota dibuat semakin hemat energi sehingga emisi karbon yang dilepaskan kawasan perkotaan berkurang secara signifikan. Untuk jangka panjang, pengurangan emisi gas rumah kaca di perkotaan , seperti karbon, dilakukan dengan pemanfaatan sumber energi baru dan terbarukan. Dan untuk jangka pendek, kita bisa lakukan gerakan penghematan energi,

Di banyak negara maju, untuk upaya menghemat energi sudah lama berkembang dan diaplikasikan. Kota-kotanya yang disebut-sebut sebagai tempat paling banyak mengkonsumsi energi juga sudah dikelola dan dirancang oleh pemerintah kotanya dengan konsep kota yang menghemat energi. 

Sebenarnya konsep-konsep atau gagasan-gagasan di bawah ini bukanlah hal yang baru karena di berbagai kota di negara-negara maju sudah banyak dipraktekkan. Untuk kota-kota di negara berkembang, prakteknya memang terlihat jauh lebih sulit ketimbang menemukan konsep/gagasannya itu sendiri. Penyebab utamanya paling tidak adalah pertama, karena tidak/belum adanya kebijakan politik dan kesadaran yang kuat dari pemerintah kota/daerah untuk memprogram, merencanakan dan menerapkan kebijakan hemat energi bagi pengelolaan kota dan penduduknya, dan kedua masih rendahnya kesadaran masyarakat/penduduk kota terhadap penghematan energi.
 
Salah satu persoalan kota yang sangat penting untuk diperhatikan dalam membangun kota hemat energi yakni Perencanaan sistem transportasi dan manajemen lalu lintas (transport planning and traffic management)

Dalam upaya membangun kota hemat energi, beberapa langkah perencanaan transportasi dan manajemen lalu lintas yang bisa dipraktekkan adalah sebagai berikut:

1. Membangun dan menyediakan sarana dan prasarana transportasi publik/masal yang efisien dan representatif

Tak ayal lagi, konsumsi energi terbesar bagi kota-kota adalah dari sektor transportasi ini. Inilah sektor yang paling vital yang menandai denyut kehidupan sebuah kota. Sebuah kota bisa dianggap mati jika di dalamnya tidak ada dinamika pergerakan penduduk dari satu tempat ke tempat yang lain. Makin besar skala sebuah kota, dapat dipastikan makin banyak pula jumlah orang yang bergerak di dalam kota setiap waktunya. Oleh karenanya perencanaan dan pengelolaan sistem transportasi publik/masal yang baik, efisien dan representatif serta pengaturan/manajemen yang tepat akan menjadi faktor kunci bagi penghematan energi di kota.

Penyebab utama tidak hematnya sektor transportasi di berbagai kota di dunia hampir selalu dipastikan karena banyaknya kendaraan pribadi yang memenuhi jalan-jalan di kota. Dengan penentuan sistem dan penyediaan sarana transportasi masal dan efisien, diharapkan banyaknya pengguna mobil pribadi akan berkurang dan beralih kepada transportasi masal ini. Syaratnya, transportasi masal haruslah representatif, efisien, aman, dan nyaman.

Karena sifatnya masal dan efisien, harga semestinya juga bisa murah dan terjangkau oleh semua lapisan masyarakat sehingga juga dapat menekan anggaran transportasi bagi masyarakat luas. Selain itu peraturan daerah/kota bisa dibuat sedemikian hingga menggunakan transportasi masal menjadi lebih hemat dibanding dengan memakai kendaraan pribadi, sehingga ini semakin mendorong sebagian besar masyarakat beralih ke transportasi masal ini.

Melalui sistem transportasi publik/masal yang efisienlah sebuah kota (bahkan negara) bisa sangat menghemat energi, karena pergerakan penduduk dapat diangkut dalam jumlah yang besar pada waktu yang sama. Menengok kota-kota besar di negara maju seperti Jepang, andalan utama transportasi masalnya adalah kereta listrik (densha) atau kereta listrik bawah tanah/subway (cikatetsu) yang bisa mengangkut ribuan orang pada waktu bersamaan ketika jam sibuk. Selain praktis, aman dan nyaman, harga pun sangat terjangkau bagi masyarakat luas untuk ukuran masyarakat di Jepang, juga ketepatan waktunya dapat dijamin dalam hitungan menit.

Di kota-kota besar di Jepang, kita akan menemukan sistem kereta listrik yang sangat efisien yang menghubungkan sub urban dengan area pusat kota. Kereta-kereta itu pun hampir selalu dipenuhi ribuan penumpang. Selain itu, kereta-kereta listrik lokal dengan frekuensi yang sangat tinggi juga siap melayani penumpang di dalam area metropolitan. Sebagai misal pada Yamanote Line, salah satu jalur loop Kota Tokyo, kereta-keretanya berlari setiap tiga menit sekali di siang hari.

Sebagai gambaran dominannya penggunaan transportasi masal kereta listrik bawah tanah juga bisa dilihat di kota Nagoya, kota terbesar ketiga di Jepang. Sejak 15 November 1957, kota ini telah mulai mengoperasikan jalur subway pertamanya yakni jalur Nagoya-Sakae. Kini, ia telah memiliki banyak jalur kereta listrik bawah tanah dengan panjang total 89 km yang mengangkut penumpang mencapai rata-rata 1.100.000 orang perharinya. Sementara sistem bus dalam kotanya yang telah beroperasi sejak 1 Februari 1930 dan kini telah memiliki panjang jalur 746 km hanya mengangkut sejumlah 318.000 orang perharinya.

Paling tidak hingga saat ini, jenis transportasi masal yang paling efisien dan mendekati ideal adalah kereta listrik. Selain ia dapat mengangkut orang dalam jumlah yang banyak, terjaminnya ketepatan waktu karena tidak pernah terjebak macet, ia juga tidak mengeluarkan gas buangan yang mencemari lingkungan sebagaimana jenis kendaraan lainnya yang mengunakan BBM seperti mobil atau bus. Lebih dari itu, jika jalurnya dibangun di atas tanah dengan rel yang disangga pilar-pilar atau dibangun di bawah tanah (subway) seperti di Jepang, maka ia tidak akan mengganggu kondisi permukaan tanah (untuk daya serap terhadap air, bandingkan dengan pembuatan jalan-jalan raya atau tol) dan juga tidak mengurangi ruang terbuka kota kecuali sedikit saja.

Kalau tidak menggunakan kereta listrik, pemakaian bus juga bisa dilakukan. Salah satu contoh terbaik penggunaan transportasi masal bus ini bisa dilihat di Kota Curitiba, Brasil. Kota yang luas areanya 432 km2 dan jumlah penduduk 1,6 juta jiwa ini mengoperasikan 5 tipe angkutan bus dengan daya angkut hingga 270 penumpang. Satu di antaranya yang terkenal adalah tipe busway seperti yang dipraktekkan di Jakarta tersebut. Sebanyak 1100 bus membuat 12.500 total perjalanan sehari dapat mengangkut sebanyak 1,3 juta penumpang perharinya. Ini telah berhasil mengurangi ketergantungan warga kota pada mobil pribadi, dan meningkatkan penumpang hingga 50 kali lipat dibanding 20 tahun sebelumnya.

Penduduk pun hanya mengeluarkan 10% dari pendapatan tahunan mereka untuk belanja transportasi (bandingkan dengan di Jakarta, yang sebelumnya 15%, kini diperkirakan mencapai 20% pasca kenaikan BBM per 1 oktober 2005 yang lalu). Lebih dari itu, kota Curitiba juga mampu menurunkan konsumsi BBM perkapita penduduk rata-rata hingga 30% lebih rendah dibandingkan dengan 8 kota lainnya di Brasil. Tak heran jika ia disebut-sebut juga sebagai salah satu kota dengan tingkat polusi terendah di dunia.

Bandingkan juga dengan situasi transportasi masal di Kota Bandung. Kota dengan luas area hanya 167 km2 (hanya 39% nya luas Curitiba) dan berpenduduk 2,5 juta jiwa ini (1,5 kali lipat lebih besar dengan Curitiba) mengoperasikan mobil kecil-kecil (biasa disebut sebagai angkot/angkutan kota) yang berdaya angkut hanya 10-15 orang sebagai transportasi masal utama. Kini jumlah angkot telah mencapai lebih dari 5.500 unit (5 kali lipat lebih banyak dengan jumlah bus di Curitiba) dengan panjang trayek total 437km (data Juni 2004).

Oleh sebab kapasitas per-unitnya yang kecil ini, efisiensi energinya jelas jauh dari optimal karena menuntut jumlah unit yang banyak sehingga juga menambah volume polusi udara, belum lagi kondisinya pun sama sekali tidak nyaman. Bahkan, karena jumlahnya yang banyak dan berebut jalan dengan banyaknya kendaraan pribadi, ditambah dengan tidak adanya kejelasan di mana ia berhenti dan di mana ia menaikkan penumpang (karena di mana saja bisa berhenti dan di mana saja bisa menaikkan penumpang) maka sering pula malah menimbulkan kemacetan.

Dengan uraian di atas, jelaslah betapa pentingnya masalah transportasi publik/masal ini bagi penghematan energi di kota. Keseriusan perencanaan dan pengelolaannya akan menjadi salah satu faktor kunci bagi pembangunan kota yang hemat energi.


2. Penyediaan jalur sepeda dan pejalan kaki (pedestrian) yang aman dan nyaman

 
Bersepeda dan berjalan kaki adalah salah satu alternatif moda perjalanan yang paling mungkin untuk menghemat energi di kota. Keduanya sudah tentu merupakan moda transportasi yang tidak bermotor (non-motorized transportation atau NMT) sehingga tidak membutuhkan bahan bakar minyak (BBM) sama sekali, dan oleh karenanya juga tidak menghasilkan polusi bagi udara di kota (ramah lingkungan).
Lebih dari itu, bersepeda maupun berjalan kaki dapat dilakukan oleh siapa saja dari semua golongan baik kaya atau miskin, tua atau muda. Jika makin banyak pengguna sepeda atau pejalan kaki, akan sangat mungkin mengurangi masalah kemacetan di kota yang selama ini seperti sulit terpecahkan. Untuk sepeda, tak salah jika ia juga disebut-sebut termasuk sebagai alat transportasi yang paling berkelanjutan (sustainable transportation).

Untuk membangun kota yang hemat energi, sudah semestinya setiap pemerintah daerah atau kota memberi perhatian khusus pada moda transportasi ini. Yakni dengan membangun jalur sepeda dan pejalan kaki yang aman dan nyaman serta menyediakan berbagai fasilitas pendukungnya. Namun sungguh disayangkan, di kota-kota besar di Indonesia, justru hampir tidak ada sarana dan fasilitas jalur bersepeda dan berjalan kaki yang aman dan nyaman, apalagi sarana pendukung lainnya seperti parkir sepeda.

Kalaupun di beberapa tempat ada jalur sepeda dan berjalan kaki, seringkali kondisinya sangat memprihatinkan misalnya jalan yang tidak menerus, rusak, berlubang, berebut tempat dengan pohon dan tiang reklame (karena tidak dirancang dengan baik), serta dipenuhi pedagang kaki lima (PKL), dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, kondisinya tidak menjamin keselamatan dan kenyamanan bagi pengguna sepeda maupun pejalan kaki.

Kondisi seperti itu tidak lepas dari kekeliruan pada kebijakan transportasi dari pemerintah daerah atau kota, di mana selama ini mereka sering mengabaikan eksistensi pengguna sepeda dan pejalan kaki sehingga tidak menyediakan jalurnya sendiri dengan baik. Dan sebaliknya, justru di negeri miskin dan banyak hutang ini, pemerintah daerah atau kotanya sering memanjakan pengguna mobil dengan membangun jalan raya, jalan layang atau jalan tol. Kemacetan bukannya berkurang tetapi malah semakin sulit diatasi, karena jalan-jalan itu justru semakin mengundang banyaknya pengguna mobil dan kendaraan bermotor. Karena banyaknya mobil dan kendaraan motor di jalan, sehingga sering juga timbul kemacetan, akhirnya kota pun menjadi semakin jauh dari hemat energi.

Dalam soal mengatasi kemacetan, kesalahan para pengambil kebijakan transportasi adalah mereka seringkali hanya melihat dari segi ketidakseimbangan angka pertumbuhan mobil atau kendaraan bermotor yang mencapai rata-rata 7-12% pertahun dibanding dengan ruas jalan yang ada. Sehingga membangun jalan-jalan seperti di atas dianggap dapat mengurangi masalah kemacetan itu. Sementara membangun dan mengelola jalur sepeda bagi pengendara sepeda dan berjalan kaki masih belum dianggap sebagai salah satu jalan alternatif untuk mengurangi kemacetan di kota.

Selain kekeliruan-kekeliruan itu, berkembang pula stigma yang kuat di masyarakat bahwa bersepeda identik dengan kemiskinan sehingga hanya orang miskinlah yang bersepeda. Budaya gengsi pun merebak kuat, karena apa saja sering dilihat dari sudut pandang materi atau harganya. Termasuk menilai seseorang sering pula dilihat dari apa yang dinaiki/dikendarainya. Stigma ini menambah kekeliruan lain, yakni kebijakan diskriminatif, yang dianggap kaya (bermobil) semakin dilayani dan dimanjakan, sementara yang dianggap miskin (bersepeda) semakin terabaikan dan tak terlindungi. Wajarlah jika akhirnya sangat sedikit jumlah pengguna sepeda di kota-kota besar di Indonesia.

Hal ini sangat berbeda dengan kota-kota di banyak negara maju maupun di beberapa negara berkembang lainnya. Pemerintah kotanya secara serius menyediakan jalur-jalur khusus sepeda dan pejalan kaki, hingga prosentase pengguna sepedanya menempati jumlah yang signifikan dibanding dengan pengguna jalan lainnya.
Kota-kota di Cina seperti Tianjin dan Shenyang menempati prosentase terbesar yakni 77% dan 65% penduduk yang mengendarai sepeda untuk perjalanan mereka. Sepeda memang sangat penting di Cina sehingga di banyak kotanya memiliki jalan sepeda hingga lima atau enam jalur. Sebagai gambaran, dari pemantauan lalu lintas di kota Tianjin, konon lebih dari 50.000 sepeda melintas di satu persimpangan jalan dalam waktu satu jam.
Namun yang paling fenomenal dan menarik untuk dicermati adalah upaya yang dilakukan pemerintah Kota Bogota, ibukota Colombia di Amerika Tengah. Untuk menghemat energi dan mengurangi polusi udara kota, Enrique Penalosa – walikota Bogota tahun 1998-2001 – membangun jalur sepeda sepanjang 350 km. Ini merupakan kota yang memiliki jalur sepeda terpanjang di Amerika Latin maupun di kota-kota negara berkembang lainnya.

Jalur-jalur sepeda dan pedestrian itu dibuat sangat kompak, menerus, dan terintegrasi serta akses yang sangat luas hingga menembus berbagai kawasan pemukiman. Selain itu, pemerintah kota pun memanjakan para pengguna sepeda dan pejalan kaki dengan berbagai regulasi keistimewaan (privilege). Untuk mendukung ini, tak segan-segan walikota sendiri dan pejabat pemerintahnya memiliki jadwal tertentu untuk bersepeda saat pergi ke kantor. Oleh karenanya dalam waktu lima tahun, jumlah pengendara sepeda meningkat drastis, yakni dari 8% pada tahun 1998 menjadi 16% pada 2003. Bahkan hingga tahun 2005 ini, ditargetkan sekitar 30% penduduk Bogota akan menjadikan sepeda sebagai salah satu moda transportasinya. Semua itu tidak lepas dari perhatian pemerintah kotanya yang menyediakan fasilitas jalur sepeda yang aman dan nyaman tersebut. 
Demikianlah upaya kota-kota dan negara-negara itu dalam membangun jalur sepeda dan pejalan kaki. Kalau sudah jelas alasan dan argumentasi pentingnya bersepeda dan berjalan kaki bagi penghematan energi di kota dan bahkan negara, apalagi yang ditunggu-tunggu. Membangun infrastrukturnya pun mudah dan murah. Ini hanya membutuhkan kesadaran dan political will dari pemerintah, untuk segera merumuskan langkah nyata dan kebijakan yang memihak kepada pengguna sepeda dan pejalan kaki tersebut. Ini agar prosentase pengguna sepeda dan pejalan kaki meningkat, sehingga makin menghemat energi dan mengurangi polusi udara di kota.

Memang prakteknya tidak semudah menggagasnya. Untuk mensukseskan kebijakannya dan sekaligus sebagai rangkuman bagian ini, paling tidak dapat dilakukan beberapa hal,  
  • Lakukan dengan cara konsep “mengundang” yakni buat jalur khusus sepeda dan pedestrian beserta penyeberangannya yang aman dan nyaman.  
  • Lakukan kampanye dan contoh nyata dari para pejabat, pada hari-hari tertentu mereka juga bersepeda ke kantor seperti di Bogota tersebut. 
  • Buat undang-undang perlindungan, khususnya undang-undang keistimewaan (privilege) bagi pengguna sepeda dan pejalan kaki. Sudah semestinya pemihakan lebih diberikan kepada moda transportasi yang hemat energi dan ramah lingkungan seperti ini.  
  • Buat aturan untuk kelancaran, keamanan dan kenyamanannya. Khusus untuk pedagang kaki lima (PKL) yang berpeluang mengambil tempat di jalur sepeda dan pedestrian, perlu pendekatan tersendiri dalam penanganannya.
  • Lakukan ketegasan penegakan aturan, hukum dan Undang-Undang.

3. Pengendalian Transportasi
 
Upaya pengendalian transportasi atau yang disebut transportation control measures (TCM) telah banyak dilakukan di berbagai negara lain dan ini sangat banyak alternatifnya. Di antaranya dapat dilakukan upaya berikut:  

Pertama, pembatasan jumlah kendaraan (traffic restraints) di kota melalui jumlah parkir resmi (terdaftar), pelarangan parkir di kota dan menaikkan harga parkir pada kawasan tertentu. 

Menengok kota-kota di Jepang, setiap mobil bermesin di atas 500cc diwajibkan memiliki tempat parkir resmi yang terdaftar. Setelah memiliki tempat parkir resmi (yang dicek secara khusus dari pihak kepolisian), kemudian dipakai sebagai persyaratan mendapatkan shaken atau izin jalan mobil selama dua tahun. Tanpa ini, mobil tidak akan pernah bisa mendapatkan shaken tersebut, artinya mobil juga tidak boleh berjalan di kota atau kemana pun. Dengan demikian, jumlah mobil berukuran tertentu di kota itu dapat terkontrol jumlahnya mendekati atau sesuai dengan jumlah parkir resmi yang tersedia di kota itu.

Terkait parkir juga, di banyak lokasi dan juga di sepanjang jalan utama kota-kota di Jepang, mobil tidak diperbolehkan parkir sembarangan. Setiap mobil harus diparkirkan pada tempat yang tersedia dan harganya tidak murah karena dihitung setiap 15-30 menit atau satu jamnya. Artinya semakin banyak waktu yang digunakan untuk parkir maka harganya dipastikan semakin mahal. Kalau terjadi pelanggaran atau kesalahan parkir, bisa kena denda yang sangat mahal, bahkan untuk tempat tertentu seperti di sekitar/depan eki (stasiun kereta) dendanya lebih mahal lagi (sekali denda bisa mencapai 15 man, atau sekitar 13-14 juta rupiah). Dengan aturan parkir di kota semacam itu, dengan sendirinya mendorong warga untuk mengambil pilihan yang lebih praktis, beresiko kecil, lebih murah, dan yang sesuai untuk diri dan keperluannya, misalnya memilih menggunakan moda transportasi masal atau bersepeda untuk jarak tertentu.

Kedua, pemberlakuan sistem daerah lisensi (area licensing system), atau sistem insentif ekonomi dengan pemberlakuan tarif pada jalan dan waktu tertentu (road pricing).  

Untuk di Jepang, kita tidak akan menemukan area atau jalan yang memberlakukan sistem ini. Hanya jalan tol saja yang diwajibkan membayar. Namun di beberapa negara maju yang lain, hal ini diberlakukan, misalnya seperti di Orchad Road di Singapura. Di pagi hari setiap kendaraan yang akan lewat diharuskan membayar sejumlah uang tertentu terlebih dahulu.

Ketiga, sistem genap-ganjil dari nomor akhir plat kendaraan. 

Artinya, mobil-mobil pribadi diatur hak jalannya di dalam kota berdasar pada nomor akhir plat kendaraannya. Mengambil pengalaman di banyak kota di Italia seperti Roma, Napoli, Milano, Turino, dan lain-lain, pada akhir tahun 1991 telah memberlakukan larangan mengendarai mobil kecuali pada hari yang ditentukan. Peraturan itu menyebutkan nomor ganjil berjalan di satu hari dan nomor genap di hari berikutnya, dan seterusnya.

Awalnya banyak pengemudi yang sangat jengkel karena dianggap membatasi dan mengekang mobilitas mereka. Konon dalam suatu hari, polisi mencatat tak kurang dari 12.983 pelanggaran karena mengabaikan atau mengubah-ubah plat nomor mereka sesuai hari boleh jalan. Namun dengan aturan ini, selain berhasil membatasi jumlah kendaraan di jalan-jalan, menghemat energi, adalah terutama dapat mengurangi polusi udara di kota. Konon Kementrian Lingkungan Hidup Italia melaporkan adanya pengurangan polusi sebesar 20% hingga 30% dari sebelumnya pada kota-kota yang memberlakukannya.

Keempat, pemberlakuan pajak mobil secara progresif 

Maksudnya makin punya banyak mobil makin mahal pajaknya. Misalnya dalam satu keluarga, kepemilikan mobil kedua, ketiga, keempat dan seterusnya pajaknya harus dibuat semakin mahal. Selain itu juga umur mobil, makin tua makin mahal. Ini untuk menebus polusi yang diakibatkan karena bertambah banyak jumlah dan usia dari mobil-mobil yang dimilikinya itu.

Kelima, pemberlakuan zona bebas mobil/kendaraan (car free zone). 

Kalau yang pertama hingga keempat hanya "mengurangi" volume lalu lintas, yang kelima ini secara total memberlakukan pelarangan mobil masuk ke area tertentu yang ditentukan sebagai zona bebas mobil/kendaraan.

Keenam, pemberlakuan hari tanpa berkendaraan (car free day). 

Ketujuh, uji coba berbagi/bermobil patungan (car sharing). 

Ini sebuah kebijakan untuk mengurangi ketergantungan mobil namun dengan tetap memberi kebebasan bermobil di kota. Pengguna cukup membayar berapa kilometer yang dipakainya. Konon disebutkan jika kita mengendarai tidak lebih dari 12.000 km/tahun (7500 miles), maka akan menghemat ribuan dolar pertahun dibanding dengan memakai mobil pribadi, tanpa mengurangi mobilitas dan dapat mengurangi polusi udara kota. Karena dalam sistem ini, pengguna mobil tidak perlu memikirkan biaya perbaikan, asuransi, parkir dan lain-lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar